Oleh: Dr.
Adian Husaini
Penulis Ketua Program Studi
Pendidikan Islam—Program Pasca Sarjana Universitas Ibn Khaldun Bogor).
HARIAN Republika (Jumat,
16/3/2012), memberitakan, bahwa Rancangan Undang-undang Keadilan dan
Kesetaraan Gender (RUU KKG) sudah
mulai dibahas secara terbuka di DPR. Suara pro-kontra mulai
bermunculan. Apakah kita –
sebagai Muslim – harus menerima atau menolak RUU KKG tersebut?
Jika menelaah Draf RUU
KKG/Timja/24/agustus/2011 — selanjutnya kita sebut RUU KKG – maka sepatutnya umat Muslim MENOLAK draf RUU ini.
Sebab, secara mendasar berbagai konsep dalam RUU tersebut bertentangan dengan konsep-konsep
dasar ajaran Islam. Ada sejumlah alasan yang mengharuskan kita –sebagai Muslim dan sebagai orang
Indonesia – menolak RUU KKG ini.
Pertama, definisi “gender” dalam
RUU ini sudah bertentangan dengan konsep Islam tentang peran dan
kedudukan perempuan dalam Islam.
RUU ini mendefinisikan gender sebagai berikut: “Gender adalah
pembedaan peran dan tanggung jawab
laki-laki dan perempuan yang merupakan hasil konstruksi sosial
budaya yang sifatnya tidak tetap
dan dapat dipelajari, serta dapat dipertukarkan menurut waktu, tempat, dan
budaya tertentu dari satu jenis
kelamin ke jenis kelamin lainnya.” (pasal 1:1)
Definisi gender seperti itu
adalah sangat keliru. Sebab, menurut konsep Islam, tugas, peran, dan tanggung
jawab perempuan dan laki-laki
baik dalam keluarga (ruang domestik) maupun di masyarakat (ruang publik)
didasarkan pada wahyu Allah, dan
tidak semuanya merupakan produk budaya.
Tanggung jawab laki-laki sebagai
kepala keluarga dan pencari nafkah keluarga adalah berdasarkan wahyu (al-Quran dan Sunnah Rasul).
Sepanjang sejarah Islam, di belahan dunia mana saja, tanggung jawab laki-laki
sebagai kepala keluarga sudah
dipahami, merupakan perkara yang lazim dalam agama Islam (ma’lumun
minad din bid-dharurah). Bahwa
yang menjadi wali dan saksi dalam pernikahan adalah laki-laki dan bukan
perempuan. Ini juga sudah mafhum.
Karena berdasarkan pada wahyu,
maka konsep Islam tentang pembagian peran laki-laki dan perempuan itu
bersifat abadi, lintas zaman dan
lintas budaya. Karena itu, dalam tataran keimanan, merombak konsep baku
yang berasal dari Allah SWT ini
sangat riskan. Jika dilakukan dengan sadar, bisa berujung kepada tindakan
pembangkangan kepada Allah SWT.
Bahkan, sama saja ini satu bentuk keangkuhan, karena merasa diri
berhak menyaingi Tuhan dalam
pembuatan hukum. (QS at-Taubah: 31).
Jadi, cara pandang yang
meletakkan pembagian peran laki-laki dan perempuan (gender) sebagai budaya ini
jelas bertentangan dengan ajaran
Islam. Sebab, sifat syariat Nabi Muhammad saw – sebagai nabi terakhir dan diutus untuk seluruh manusia
sampai akhir zaman – adalah universal dan final. Zina haram, sampai kiamat. Khamr haram di mana pun dan kapan
pun. Begitu juga suap adalah haram. Babi haram, di mana saja dan kapan saja. Konsep syariat
seperti ini bersifat lintas zaman dan lintas budaya.
Syariat Islam jelas bukan konsep
budaya Arab. Saat Nabi Muhammad saw memerintahkan seorang istri untuk taat kepada suaminya – dalam
hal-hal yang baik – maka perintah Nabi itu berlaku universal, bukan hanya untuk perempuan Arab abad ke-7
saja. Umat Islam sepanjang zaman menerima konsep batas aurat yang universal; bukan tergantung
budaya. Sebab, fakta menunjukkan, di mana saja dan kapan saja, perempuan memang sama. Sudah ribuan tahun
perempuan hidup di bumi, tanpa mengalami evolusi. Matanya dua, hidung satu, payudaranya dua, dan juga
mengalami menstruasi. Perempuan juga sama saja, dimana-mana. Hanya warna kulit dan mungkin ukuran
tubuhnya berbeda-beda. Karena sifatnya yang universal, maka konsep syariat Islam untuk perempuan pun
bersifat universal.
Memang, tidak dapat dipungkiri,
dalam aplikasinya, ada unsur-unsur budaya yang masuk. Misalnya, konsep
Islam tentang perkawinan pada
intinya di belahan dunia mana saja tetaplah sama: ada calon suami, calon
istri, saksi, wali dan ijab
qabul. Tetapi, dalam aplikasinya, bisa saja unsur budaya masuk, seperti bisa
kita lihat dalam pelaksaan berbagai upacara perkawinan di berbagai daerah di
Indonesia.
Alasan kedua untuk menolak RUU
Gender sangat western-oriented. Para pegiat kesetaraan gender biasanya
berpikir, bahwa apa yang mereka
terima dari Barat – termasuk konsep gender WHO dan UNDP – harus ditelan begitu saja, karena bersifat
universal. Mereka kurang kritis dalam melihat fakta sejarah perempuan di Barat dan lahirnya gerakan feminisme
serta kesetaraan gender yang berakar pada ”trauma sejarah” penindasan perempuan di era Yunani kuno dan
era dominasi Kristen abad pertengahan.
Konsep-konsep kehidupan di Barat
cenderung bersifat ekstrim. Dulu mereka menindas perempuan sebebas-
bebasnya, sekarang mereka
membebaskan perempuan sebebas-bebasnya. Dulu, mereka menerapkan
hukuman gergaji hidup-hidup bagi
pelaku homoseksual. Kini, mereka berikan hak seluas-luasnya bagi kaum
homo dan lesbi untuk menikah dan
bahkan memimpin geraja.
Lihatlah, kini konsep keluarga
ala kesetaraan gender yang memberikan kebebasan dan kesetaraan secara total antara laki-laki dan perempuan
telah berujung kepada problematika sosial yang sangat pelik. Di Jerman, tahun 2004, sebuah survei menunjukkan,
pertumbuhan penduduknya minus 1,9. Jadi, bayi yang lahir lebih sedikit dari pada jumlah yang mati.
Peradaban Barat juga memandang
perempuan sebagai makhluk individual. Sementara Islam meletakkan
perempuan sebagai bagian dari
keluarga. Karena itulah, dalam Islam ada konsep perwalian. Saat menikah,
wali si perempuan yang
menikahkan; bukan perempuan yang menikahkan dirinya sendiri. Ini satu bentuk
pernyerahan tanggung jawab kepada
suami. Di Barat, konsep semacam ini tidak dikenal. Karena itu jangan
heran, jika para pegiat gender
biasanya sangat aktif menyoal konsep perwalian ini. Sampai-sampai ada yang
menyatakan bahwa dalam pernikahan
Islam, yang menikah adalah antara laki-laki (wali) dengan laki-laki
(mempelai laki-laki).
Simaklah
bagaimana kuatnya pengaruh cara pandang Barat dalam konsep ”kesetaraan gender”
seperti
tercantum dalam pasal 1:2 RUU
Gender yang sedang dibahas saat ini: “Kesetaraan Gender adalah kesamaan
kondisi dan posisi bagi perempuan
dan laki-laki untuk mendapatkan kesempatan mengakses, berpartisipasi,
mengontrol, dan memperoleh
manfaat pembangunan di semua bidang kehidupan .” (pasal 1:2).
Renungkanlah konsep semacam ini.
Betapa individualistiknya. Laki-laki dan perempuan harus disamakan
dalam semua bidang kehidupan.
Lalu, didefinsikan juga:
“Diskriminasi adalah segala
bentuk pembedaan, pengucilan, atau pembatasan, dan segala bentuk kekerasan
yang dibuat atas dasar jenis
kelamin tertentu, yang mempunyai pengaruh atau tujuan untuk mengurangi atau
menghapuskan pengakuan,
penikmatan manfaat atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, sosial,
budaya, sipil atau bidang lainnya terlepas dari status perkawinan, atas dasar persamaan antara perempuan dan
laki-laki.” (pasal 1:4).
Jika RUU Gender ini akan menjadi
Undang-undang dan memiliki kekuatan hukum yang tetap, maka akan
menimbulkan penindasan yang
sangat kejam kepada umat Muslim – atau agama lain – yang menjalankan
konsep agamanya, yang kebetulan
berbeda dengan konsep Kesetaraan Gender. Misalnya, suatu ketika, orang Muslim yang menerapkan hukum
waris Islam; membagi harta waris dengan pola 2:1 untuk laki-laki dan perempuan akan bisa dijatuhi
hukuman pidana karena melakukan diskriminasi gender. Jika ada orang tua menolak mengawinkan anak
perempuannya dengan laki-laki beragama lain, bisa-bisa di orang tua akan
dijatuhi hukuman pula. Bagaimana
jika kita membeda-bedakan jumlah kambing untuk aqidah antara anak laki-laki dan perempuan?
Alasan ketiga, RUU Gender ini
sangat SEKULAR. RUU ini membuang dimensi akhirat dan dimensi ibadah dalam interaksi antara laki-laki dan
perempuan. Peradaban sekular tidak memiliki konsep tanggung jawab akhirat. Bagi mereka segala urusan selesai
di dunia ini saja. Karena itu, dalam perspektif sekular, ”keadilan” hanya diukur dari perspektif dunia.
Bagi mereka tidaklah adil jika laki-laki boleh poligami dan wanita tidak boleh poliandri. Bagi mereka, adalah
tidak adil, jika istri keluar rumah harus seijin suami, sedangkan suami boleh keluar rumah tanpa izin istri.
Bagi mereka, tidak adil jika
laki-laki dalam shalatnya harus ditempatkan di shaf depan. Dan sebagainya. Jika
seorang perempuan terkena pikiran
seperti ini, maka pikiran itu yang perlu diluruskan terlebih dulu. Biasanya
ayat-ayat al-Quran dan hadits
Rasulullah saw tidak mempan bagi mereka, karena ayat-ayat itu pun akan
ditafsirkan dalam perspektif
gender. Sebenarnya, perempuan yang kena paham ini patut dikasihani, karena
mereka telah salah paham. Mereka
hanya melihat aspek dunia. Hanya melihat aspek hak, dan bukan aspek
tanggung jawab dunia dan akhirat.
Padahal, dalam perspektif Islam,
justru Allah memberi karunia yang tinggi kepada perempuan. Mereka
dibebani tanggung jawab duniawi
yang lebih kecil ketimbang laki-laki. Tapi, dengan itu, mereka sudah bisa
masuk sorga, sama dengan
laki-laki. Perempuan tidak perlu capek-capek jadi khatib Jumat, menjadi saksi
dalam berbagai kasus, dan tidak
wajib bersaing dengan laki-laki berjejalan di kereta-kereta. Perempuan tidak diwajibkan mencari nafkah bagi
keluarga. Dan sebagainya.
Sementara itu, kaum laki-laki
mendapatkan beban dan tanggung jawab yang berat. Kekuasaan yang besar
juga sebuah tanggung jawab yang
besar di akhirat. Jika dilihat dalam perspektif akhirat, maka suami yang
memiliki istri lebih dari satu
tentu tanggung jawabnya lebih berat, sebab dia harus menyiapkan laporan yang
lebih banyak kepada Allah. Adalah
keliru jika orang memandang bahwa menjadi kepala negara itu enak. Di
dunia saja belum tentu enak,
apalagi di akhirat. Sangat berat tanggung jawabnya. ”Dimensi akhirat” inilah yang
hilang dalam berbagai pemikiran tentang ”gender”. Termasuk dalam RUU Gender yang sedang dibahas di DPR.
Perspektif dari RUU ini sangat sekuler. (saeculum=dunia); hanya menghitung aspek dunia semata. Jika dimensi
akhirat dihilangkan, maka konsep perempuan dalam Islam akan tampak
timpang. Sebagai contoh, para
aktivis gender sering mempersoalkan masalah ”double burden” (beban ganda) yang dialami oleh seorang
perempuan karir.
Disamping bekerja di luar rumah,
dia juga masih dibebani mengurus anak dan berbagai urusan rumah tangga.
Si perempuan akan sangat tertekan
jiwanya, jika ia mengerjakan semua itu tanpa wawasan ibadah dan
balasan di akhirat. Sebaliknya,
si perempuan akan merasa bahagia saat dia menyadari bahwa tindakannya
adalah satu bentuk ibadah kepada
Allah SWT.
Karena itu, jika Allah tidak
memberi kesempatan kepada perempuan untuk berkiprah dalam berbagai hal,
bukan berarti Allah merendahkan
martabat perempuan. Tapi, justru itulah satu bentuk kasih sayang Allah
kepada perempuan. Dengan
berorientasi pada akhirat, maka berbagai bentuk amal perbuatan akan menjadi
indah. Termasuk keridhaan
menerima pembagian peran yang diberikan oleh Allah dan Rasul-Nya.
Pada akhirnya, dalam menilai
suatu konsep – seperti konsep Kesetaraan Gender – seorang harus memilih
untuk menempatkan dirinya: apakah
dia rela menerima Allah SWT sebagai Tuhan yang diakui kedaulatannya
untuk mengatur hidupnya? Seorang
Muslim, pasti tidak mau mengikuti jejak Iblis, yang hanya mengakui
keberadaan Allah SWT sebagai
Tuhan, tetapi menolak diatur oleh Allah SWT. Seolah-olah, manusia semacam ini berkata kepada Allah SWT: ”Ya
Allah, benar Engkau memang Tuhan, tetapi jangan coba-coba mengatur hidup saya! Karena saya tidak
perlu segala macam aturan dari-Mu. Saya sudah mampu mengatur diri saya sendiri!” Na’dzubillahi
min-dzalika.
Kedepan, tuntutan semacam ini
mungkin akan terus bertambah, di berbagai bidang kehidupan. Sesuai dengan tuntutan pelaksaan konsep Human
Development Index (HDI), wanita dituntut berperan aktif dalam
pembangunan, dengan cara terjun
ke berbagai sektor publik. Seorang wanita yang dengan tekun dan serius
menjalankan kegiatannya sebagai
Ibu Rumah Tangga, mendidik anak-anaknya dengan baik, tidak dimasukkan ke dalam ketegori ”berpartisipasi
dalam pembagunan”. Tentu, konsep semacam ini sangatlah aneh dalam perspektif Islam dan nilai-nilai
tradisi yang juga sudah dipengaruhi Islam.
Daripada bergelimang
ketidakpastian dan dosa, mengapa pemerintah dan DPR tidak mengajukan saja ”RUU Keluarga Sakinah” yang
jelas-jelas mengacu kepada nilai-nilai Islam? Buat apa RUU Gender diajukan dan dibahas? Dari tiga naskah
akademik yang saya baca, tampak tidak ada dasar pemikiran yang kuat untuk mengajukan RUU Kesetaraan Gender
ini. RUU ini cenderung membesar-besarkan masalah, dan lebih menambah masalah baru. Belum lagi
jika RUU ini melanggar aturan Allah SWT, pasti akan mendatangkankemurkaan Allah SWT. Tugas kita
hanya mengingatkan!
Wallahu a’lam bil-shawab.
Jakarta, 16 Maret 2012
0 komentar:
Posting Komentar